Film Pesantren : Melihat Kehidupan Lain

9:25:00 PM



     Saya tahu film ini dari kebiasaan saya melihat stories instagram, kegiatan yang banyak menyita waktu kali ini memberikan kabar yang informatif. Kebetulan sekali sabtu ini saya selo, jadi sat set sat set saya langsung mendaftarkan diri.

    Ini pertama kalinya saya pergi ke komunitas salihara, ternyata akses jalan depannya sempit dan parkirnya memang sempit (sudah diingatkan untuk tidak membawa kendaraan). Saya curi dengar dari beberapa orang yang datang sore itu ada yang naik busway dan ojek daring. Apa daya sampai sekarang saya tidak paham jalur busway itu bagaimana cara kerjanya. Saya nekat saja membawa kendaraan, dan parkir di minimarket sebelahnya. 

    Tidak lama setelah saya datang ada semacam bunyi gong dipukul, “duuuung... duuuung...”. Ternyata itu tanda pemutaran film akan dimulai. Buat saya yang benar-benar baru pertama kali masuk, terheran-heran melihat konstruksi kayu yang dimodel sedemikian rupa sehingga membentuk trap-trap susunan konstruksi bangku bioskop.


    Mengenai filmnya, bercerita secara umum mengenai kehidupan Pondok Pesantren Kebon Jambu. Bisa dibilang secara keseluruhan tidak ada isu yang benar-benar disorot secara kuat. Saat menonton, terkadang saya merasa ada yang sedikit diperkuat mengenai pandangan-pandangan kontra patriarki tapi saya rasa juga tidak menjadi isu utama. Buat saya dari awal sampai akhir film ini menyorot secara umum dan luas mengenai kehidupan pesantrennya.

    Gambar-gambar yang disajikan membuat saya terpana bukan karena kualitas gambarnya atau teknik shootnya namun memang karena kehidupan santrinya. Salah satunya saat melihat para santri tidur di lantai seperti ikan pindang yang sedang dijemur. Begitu pula momen dan dialog-dialognya, benar-benar membawa saya pada suasana “perjuangan kelas”, saat ada salah satu tokoh seorang guru kesenian pesantren tersebut diterima di Universitas Diponegoro namun yang bersangkutan terkendala dengan keuangan.

    Peletakan elemen suaranya menurut saya cerdas dan pas, sehingga perasaan ini dibawa pada suasana kehidupan pesantrennya. Seperti sewaktu “Syiir Tanpo Waton” diputar di awal film, ini melempar saya pada suasana menjelang magrib di Surabaya. Saya kenal sekali dengan lirik dan alunan nadanya, dan saya berpikir bahwa orang-orang di dalam pesantren ini mengarah pada “Gusdurian”. Benar saja dugaan saya ketika beberapa kali melihat santri memakai kaos-kaos Gus Dur. Maka tidak diragukan lagi bahwa paham yang diajarkan di pesantren tersebut mengenai nilai-nilai “Hablum Minannas”

    Ketika di penghujung film, saat ada tulisan “Wisuda Santri” saya rasa film ini pembabakannya berusaha rapi,  tapi rasanya saya ingin mengulang dari awal hanya karena ingin melihat tim musik berlatih dan menyanyikan lagu.

    Mungkin di kemudian hari akan menjadi menarik jika ada film pendek mengenai beberapa unsur kehidupan yang ada di dalam film pesantren tersebut untuk menjawab beberapa pertanyaan yang membuat saya penasaran kehidupan pesantren. Seperti bagaimana mereka proses pendaftarannya, apakah ada tes begitu ketat, atau dilaksanakan begitu saja dengan tujuan syiar agama kepada siapapun dari golongan apapun, karena di salah satu dialognya sempat terlontar “Dari 300 orang santri, hanya 100 orang yang bisa membaca Al Quran (Mengaji)” atau dialog lainnya “Pola pengasuhan orang tua sekarang sangat berbeda dengan dulu, dulu didaftarkan pesantren agar mendalami ilmu agama, tapi sekarang anak didaftarkan pesantren dengan tujuan paling tidak bisa bacaan sholat”. Atau hal lain yang membuat saya penasaran bagaimana organisasi sosial mereka? Pembagiaan kamarnya, pembagian kelas/tingkatannya, dan bagaimana mereka mengatur peran setiap pengajar serta jalannya operasional pendidikan agamanya.

    Menonton Pesantren buat saya seperti melihat kehidupan lain yang dulu hampir saja saya jalani, ketika saya duduk di kelas 3 SMP ibu saya bersikeras untuk memasukkan saya di boarding school tapi mental saya ciut saat melihat sekolah yang saya tuju setiap papan kelas dan petunjuknya menggunakan huruf arab gundul. Saya merasa bahwa saya akan tersiksa apabila menjalani kehidupan seperti itu. Jadi waktu itu, saya menolak permintaan ibu saya untuk menjadi santri.

(tralier dapat dilihat di : disini

You Might Also Like

1 komentar

Pembaca yang baik pasti meninggalkan komentar yang baik dan membangun. Tinggalkan komentar, ya! :)