“Pada hari minggu ku turut Ayah ke kota, naik delman
istimewa ku duduk di muka....” tentu potongan lirik ini sangat mudah untuk saya
ingat sampai sekarang. Membaca dan menulisnya pun menggunakan nada yang sangat
mudah dinyanyikan, meski untuk orang seperti saya yang hampir buta nada kalau
menyanyi.
Ceritanya, hari raya idul fitri tahun ini, saya dan keluarga
mencoba napak tilas keluarga bapak saya yang telah lama tidak bersua. Entah
karena musabab apa, tapi memang nenek saya (ibu dari bapak) sendiri tidak begitu
membudayakan sowan sana sini. Saya sendiri pun tidak begitu dekat dengan nenek
saya.
Ingatan saya mengenai desa bapak saya adalah ketika idul
fitri dulu sekali, saya dan saudara-saudara lainnya naik delman dari jalan raya
masuk ke daerah pedesaan. Melewati sawah yang luas dan dihiaskan pohon kelapa
yang jarak tiap pohonnya sangat teratur. Setelah kunjungan waktu dulu itu,
tidak pernah sekali pun saya berkunjung ke desa bapak saya lagi. Sampai hari
raya kemarin ini, saya dan keluarga kecil saya berkunjung ke rumah keluarga
yang masih ada disana.
di depan stasiun desa Ngebruk |
Delman, menjadi alat transpotasi yang memanggil ingatan
dalam benak saya. Bahwa saya pernah berkunjung ke desa itu dulu...... Hanya sekali saya berkunjung, dan idul fitri tahun ini merupakan keduakalinya.
Kini
delman yang tersisa hanya sembilan dari seratus armada yang pernah ada. Salah
satu kusirnya yang masih aktif, bapak Daringan. Desanya bukan desa wisata, delman disana memang kebutuhan transpotasi bagi anak-anak sekolahan.
bapak Daringan |