16 November 2013
Kepergian menuju Kawah Ijen berawal dari ajakan Siwalan, kawanku
dari kota Probolinggo (kawan SMA). Sekitar h-7 keberangkatan aku sudah menolak
untuk tidak ikut karena aku ingin menetap di surabaya akhir pekan ini. semua
berubah ketika memasuki h-1, jumat sore (15/11/13). Imanku mulai goyah dengan tawaran perjalanan ini, sayang sekali
untuk dilewatkan. Akhirnya aku memutuskan untuk bergabung pada perjalanan itu.
Rencana awal perjalanan ini buah pemikiran Siwalan dan salah
satu adik kelasku di SMA. Mereka akan berangkat pada hari sabtu siang dengan
tujuan melihat BlueFire. Aku mulai bertanya-tanya bluefire itu apa ya, googling
membuatku mengerti. Entah bagaimana penjelasan ilmiahnya, aku hanya bisa
berkata ‘blue fire itu keren’.
Pada awalnya aku sudah memutuskan tidak bisa bergabung.
Seperti yang kukatakan tadi, imanku mulai goyah pada jumat sore. Kala itu, aku mulai berpikir apa yang membuatku untuk tetap
tinggal di Surabaya sedangkan ini ada tawaran yang membuat hati berdesir. Aku ada agenda acara di surabaya sabtu-minggu
ini yang sudah di rencanakan mulai jauh-jauh hari. Bukan mau menghabiskan waktu
akhir pekan dengan kekasih (punya aja kagak) tapi memang ini acara cukup
penting. Otakku cukup gelap waktu itu, ternyata kegiatannya bisa ditinggal.
Jumat sore, aku memberi kabar kepada Siwalan untuk ikut. Pada malam harinya aku
mulai mencari perlengkapan (perlengkapan apa? sleeping bag/sb aja sih). Setelah
mendapat pinjaman sb,aku mulai packing
dan dilanjut untuk tidur.
Pagi harinya...aku kaget ! ketika mengaktifkan hape dan BBM. Sial banget, siwalan memberi kabar kalau
keberangkatan di batalkan karena adik kelasku di SMA itu nggak dapat ijin. AH!
Tidak bisa begitu dong. Aku langsung telpon siwalan. Menelpon beberapa kali
masih saja belum mendapat jawaban,sepertinya dia masih tidur. Kacau balau deh
kalau rencananya batal. Kecewa. Sedikit menyesal bikin janji sama anak SMA,
terlalu ribet ini dan itu.
Eeeiiits! Tenang pemirsah! Cerita belum usai sampai disini.
Aku memutuskan untuk tetap pulang ke Probolinggo, apapun
yang terjadi. Ehm, apa iya kalau emang nggak jadi pulang ke Probolinggo bawa sb
segala -_- Semua mulai terlihat jelas ketika selesai mandi ada pak RT datang
bawa polisi (ini kenapa nyasar ke lagu), selesai mandi aku mendapat telepon
dari siwalan, aku suka sebuah kepastian. Sepertinya dia telpon sambil ngelindur,
suaranya nggak begitu jelas dan aku terus mengatakan ‘apapun yang terjadi,
rencana awal tetap harus dijalankan’.
Sesampainya di Probolinggo, kita langsung re-packing,
membawa satu tas carrier dan satu backpack. Mau tau apa isi tas kami? Dilarang
kepo :p
Sekitar jam setengah 2 siang kita berangkat dari Probolinggo.
Kau tau rahasia terbesar selama perjalanan probolinggo-kawah ijen? Kami tidak
saling tau jalan, memang ini kali pertama kami ke kawah ijen. Bermodalkan
feeling dan sedikit bantuan GPS sederhana, akhirnya sampai di portal pertama
sekitar jam setengah 7 malam
Kami diam sejenak disini sembari menunggu 2 rekan lainnya
datang. Satu jam, dua jam, tiga jam...tiktoktiktok sampai jam setengah 10 malam
mereka belum juga datang. Akhirnya kita berdua membuat kesepakatan kita tetap
berangkat jika sampai jam 11 malam, 2 rekan kita belum juga datang.
siwalan dan kompor rusak |
Tiktoktiktok...sekitar
jam 10 kurang beberapa menit akhirnya mereka datang juga, kita saling
berpelukan. Kita tidak langsung berangkat karena kala itu aku bersama siwalan
sedang asik-asiknya masak mie instan dan menyeduh segelas kopi panas (karena
kompor yang dibawa siwalan ialah kompor rusak,
bara api penolong |
kami pakai bara api yang ada di portal
pertama). Sekitar setengah 11, kami berangkat. Dari portal pertama menuju pintu
masuk kawah ijen kami harus menempuh sekitar 17 km (bukan jalan kaki).
repacking |
Keramaian mulai tampak,akhirnya pos terlihat juga. Setelah menaruh
sepeda motor di area parkir, kami repacking. Membawa satu backpack,
yang berisi biskuit + minum (dengan khayalan: menikmati bluefire sambil makan
biskuit). Dengan ekspetasi perjalanan memakan waktu sekitar 2 jam, kita
berangkat pukul 12 malam kurang beberapa menit.
Tiktoktiktok.... jam
menunjukkan pukul setengah 2 dini hari, kurang beberapa langkah lagi kami sudah
bisa melihat bluefire. Semuanya tidak sesuai perkiraan semula, kabut terlalu
tebal dan bau belerang terlalu menyengat. Kami berempat memutuskan untuk
kembali ke pos. Ada sedikit tampang kecewa di wajah kawan-kawan namun apa daya.
Tuhan berkata lain, kita belum diijinkan lihat bluefire. Kami memutuskan untuk
mencari tempat istirahat, menggelar sleeping bag. Sebuah lagu cover oleh Elyzia dari michael buble menemani pagi itu,
Let me go homeI’m just too far from where you areI wanna come home
Siwalan lagi asik dengan kompornya, memasak ini dan itu. Aku memilih tidur lebih dulu daripada yang lain. Pagi harinya, aku bangun terlebih dahulu,
kulihat lawan-kawan yang lain tidur nyenyak, mungkin sedang bermimpi melihat
bluefire dengan mata kepala sendiri. mimpiku? Aku terlalu lelah untuk bermimpi.
Pupus sudah harapanku bisa mengabadikan bluefire lewat
kamera. Sampai akhirnya tulisan ini
berakhir, rasa kecewa itu masih ada. Mungkin jika diijinkan kita bisa bertemu di lain kesempatan,
bluefire.
13 November 2013
Hari Rabu, ah paling enak main ke gunung. Lho? kok bukan
hari minggu, emang nggak kuliah? Jika ada pertanyaan seperti ini, aku hanya
bisa nyengir :D monggo dijawab sendiri
Pendakian kali ini gegara gagalnya rencana awal yang
seharusnya berangkat hari selasa sore menuju gunung bromo dengan tujuan
‘sunrise’. Kegagalan ini disebabkan cuaca Probolinggo yang kurang mendukung
kala itu. Hujan deras, angin kencang, rumah bocor. Daripada kecewa, aku
menghibur diriku sendiri untuk tetap berangkat dengan menjalankan rencana B (yang
muncul tiba-tiba) yaitu berangkat hari rabu pagi. Oiya, perjalanan kali ini aku
ditemani Maja, kawanku dari Ngepung. Apa isi rencana B ? mendaki semeru? Tidak,
tidak se-ekstrim itu. Rencana b, aku tetap berangkat ke bromo namun tanpa
sunrise.
Aku mulai melangkahkan kaki dari rumah sekitar pukul 9 pagi.
Perjalanan pertama di sponsori mobil warna kuning dan berplat kuning, orang
Probolinggo menyebutnya angkot. Aku yang sudah lama nggak naik angkot
Probolinggo sedikit lupa berapa tarif sekali jalannya. Pilihan yang buruk jika
aku bertanya pada sopir, bisa jadi ketipu. Melihat penumpang lain membayar
menjadi opsi yang tepat. Seingatku, naik angkot Probolinggo cuma dua ribu
rupiah. Ada yang membayar 3 ribu dan 4 ribu. Ah, aku jadi bingung sendiri.
Akhirnya aku memberi selembar uang bergambar tuanku Imam Bonjol. Eh?aku diberi uang kembali cuma
seribu. aku melanjutkan perjalanan menuju tempat para Bison beristirahat
(selatan terminal) dan tidak memilih merisaukan tarif angkot sekali jalan itu.
Ehm, Aku baru ingat tarif 2ribu rupiah
itu ketika aku masih duduk di bangku SMA dan itu naik angkot dengan mengenakan
seragam, nggak sadar kl udah lulus hehe.
Disini, perjalanan agak terganggu karena bisonnya pada males
gerak. (kata maja sih, dia sudah 3 tahun selama masa SMP diperlakukan seperti ini )
bisonnya lagi mager |
Ah, sebuah keberuntungan bagiku ketika maja menawarkan jemputan. Untuk
mempersingkat waktu karena takut hujan turun, kami langsung menuju Bromo.
Tujuanku ke bromo, upacara seremonial dalam rangka pemberian
semangat untuk seseorang yang akan menempuh midtest nun jauh disana. Aku
membawa tanda kasih tak berduit, sebuah tulisan kertas berlatar belakang
panorama kawah bromo.
Disana juga sedang ada syuting bolang, baru kali ini aku
menonton syuting bolang secara langsung. Ternyata
bolang nggak sebolang yang ku
kira, mereka dikte untuk berbicara ini dan itu, untuk melakukan aktivitas ini
dan itu. Mungkin aku bisa sebut ini sebuah eksploitasi. Ah, tidak juga. Aku
tidak bisa menilai dari satu kali syuting bolang, bolang juga kan punya banyak
episode.
Selesai sesi pemotretan di kawah gunung bromo. Ide gila
muncul dari maja, ‘bagaimana kalau mendaki gunung batok?’ aku menjawab dengan
anggukan semangat. Baiklah, kita berangkat. Jika dilihat dari kaki gunungnya,
tidak ada sama sekali jalan yang bisa ditempuh. Apa boleh buat, nasi sudah
menjadi bubur dan bubur tetap enak. Kita tetap mendaki...
Hu..hu..hu.. nafas kita mulai terengah-engah, puncak sudah
dekat, entah dekat seberapa. Aku bercerita singkat pada maja jika gunung ini
asal muasalnya dibangun oleh Buto dari batok kelapa, aku bertanya kepadanya
‘seberapa ya batok kelapanya?’ dan dia balik tanya ‘seberapa pohon kelapanya’
aku terbahak-bahak dalam suasana mistis. Sebuah misteri bagi kami. Seberapa
besar batok kelapanya, seberapa besar batok kelapanya..
puncak gunung batok |
Perjalanan tetap
dilanjutkan. Medan mulai berat ketika puncak kian dekat. Sambutan langit begitu
indah ketika kami sampai di puncak, hujan rintik-rintik. Aku melihat ada 3
bendera merah putih disana. Satu bendera robek-robek, satu bendera mulai usang,
satu bendera masih bugar. Air hujan
mulai datang berbondong-bondong, inilah saatnya kami kembali turun.
Setibanya di kaki gunung kami mampir ke warung untuk
menikmati hangatnya kopi dan segelas susu cokelat. Mie instan dalam cup (p*p
mie) pilihan yang tepat untuk mengganjal perut. Aah begitu nikmat rasanya,
udara dingin gunung ditemani hangatnya kuah p*p mie. Eh ketika menanyakan harga
p*p mie, rasa kuahnya tiba-tiba berubah seperti kuah selayaknya. Harganya
setara dengan sebotol bensin eceran di jalanan, sekitar tujuh ribu rupiah. Ah
jika mengerti seperti ini sebelumnya, aku ingin tetap membiarkan harga p*p mie
menjadi sebuah misteri. Hehe.
lautan ini membuatku rabun. aku tidak bisa melihat jejak-jejak orang yang terdahulu. Ah, sudahlah.. aku menentukan jalanku sendiri. (foto diambil dengan kamera pinjaman, di Gunung Bromo, Indonesia)
perjalanan menuju atas selalu saja menarik untuk dibahas. selalu ada saja kisah yang berbeda untuk dihaturkan. ketika melewati tangga ini, ada sebuah kalimat yang sama setiap cerita yang berbeda itu 'aku menemukan sampah'. (foto diambil dengan kamera pinjaman, di Gunung Bromo, Indonesia)