Sanggar Menulis Kilat oleh Dee
10:20:00 PM
Bagaimana jika Affandi seorang
maestro lukis membuka sanggar gratis hanya diadakan dengan durasi terbatas yang
dihadiri oleh orang-orang yang kurang menaruh perhatian di dunia lukis dan
mereka hanya datang atas nama kekaguman, tentunya akan dirasa membuang waktu.
Bisa jadi itu yang menjadi alasan Dewi ‘Dee’ Lestari, seorang penulis populer
dua dekade terakhir ini untuk menyaring siapa-siapa saja yang berhak hadir
dalam sanggar menulis kilatnya “Dee’s Coaching Clinic” (Dee’s Coaching
Clinic―selanjutnya akan disingkat DCC―, merupakan forum berbagi ilmu
kepenulisan fiksi sekaligus program promosi Supernova Episode Gelombang dari
Dewi ‘Dee’ Lestari yang diadakan di beberapa kota besar, salah satunya
Surabaya. DCC akan menjadi embrio lahirnya buku teori kepenulisan oleh Dee).
Ulasan
Supernova Episode Gelombang merupakan
syarat untuk menjadi peserta di sanggar menulis kilat itu. Setidaknya dari
ulasan itu, pihak penyelanggara tahu siapa yang berbakat dalam bidang menulis
atau siapa yang berkemauan untuk berkiprah dalam dunia kepenulisan fiksi. Atau malah bukan dua faktor tersebut yang
menjadi parameter, melainkan mereka pembaca fiksi yang mau menyempatkan untuk menulis
sebuah ulasan buku. Saya sendiri merasa masuk pada bagian akhir yaitu
menyempatkan untuk menulis sebuah ulasan, hehe. Supernova Episode Gelombang saja menjadi buku pertama yang saya
ulas.
Jadi, menulis ulasan Supernova Episode Gelombang menjadi
syarat mutlak untuk menjadi kandidat peserta. Setelah calon peserta DCC selesai
menulis ulasan, mereka diwajibkan untuk mengunggah di akun sosial media
miliknya. Selanjutnya, calon peserta mengirim surel kepada pihak Bentang
Pustaka (selaku penyelanggara) yang memuat tautan ulasan tersebut dan juga
alasan kepantasan calon peserta mengikuti DCC.
Penasaran dengan jawaban apa yang saya kirim waktu itu? Ada baiknya
jawaban itu menjadi konsumsi pribadi saya saja yaa.
Beberapa hari kemudian
setelahnya, melalui akun twiter @bentangpustaka merilis nama-nama peserta DCC
Surabaya. Kabar bahagianya adalah saya
termasuk salah satu peserta yang berhak hadir di sanggar menulis kilat oleh
Dee. Sebuah pencapaian yang membanggakan bagi saya, tentunya saya tidak
sendiran dalam mencapainya. Ada pihak yang mendukung saya dalam penulisan
ulasan Supernova Episode Gelombang. Di
kesempatan kali ini, saya ingin mengucapkan terimakasih pada Mbak Catrine
selaku editor yang bolak-balik rela membaca. Dan juga, Innez yang mengingatkan
saya bahwa ulasan milik saya yang awalnya sangat karut marut alias kurang
runtun. EH! Bentar deh, kok malah jadi seperti kata pengantar buku gini ya,
hahaha.
my firs sight with her |
Here we go..
“Bagaimana sih mbak menulis?”,
pertanyaan ini merupakan cikal bakal DCC. Lalu, Dee mengungkapkan tentang
sebuah kejujuran bahwa jawaban pertanyaan semacam itu tidak sederhana. Sebagai
pemberi jawaban, ia harus tahu sejauh mana penanya telah mengerti dunia
kepenulisan fiksi. Dee juga menjelaskan memang tidak ada yang sederhana tentang
pertanyaan kepenulisan, metode pembelajaran terbaik adalah terus berlatih. Di
DCC inilah Dee mencoba memberi gerbang pemikiran dunia kepenulisan.
Pada termin pertama, Dee mencoba menjawab
tiga pertanyaan dari peserta berbeda-beda yang dirasanya mampu menjadi dasar
pembahasan (sebelumnya pertanyaan-pertanyaan peserta kepada Dee telah dikirim
melalui surel, setiap peserta berhak mengajukan tiga pertanyaan). Tiga
pertanyaan yang telah dipilih dirangkum menjadi sebuah pembahasan menjadi “Ego, Fokus -> Deadline”.
Dee memaparkan modal penulis itu
antara lain, berpikir kreatif , tekun berlatih, tahu buku apa yang ditulis, dan
DEADLINE. Dee
beranggapan bahwa ide seorang penulis itu bukan menunggu wangsit atau harus
bertapa masuk gua atau menunggu tengah malam saat hanya ada bunyi jangkrik.
Namun ide itu lahir karena sebuah kemauan untuk menggali ide itu sendiri.
Menggali ? emang tanah yaa digali, yup bisa disebut juga seperti itu, bagaikan
tanah yang berlapis-lapis membungkus sebuah ide. Dee menyarankan untuk menggali
tanah yang membungkus ide tersebut
dengan terus berlatih. Dee juga sempat bertanya kepada audiens “..siapa
yang disini bercita-cita penulis?...” seketika seisi ruangan mengangkat
tangannya. Lalu, ia menjelaskan cita-cita sebagai penulis hanyalah sebuah
abstraksi. Butuh hal-hal konkrit untuk mencapainya. Nah, disini peran deadline
sangat penting. Dengan deadline kita dapat terbantu dalam mencapai sesuatu yang
konkrit. Misal, kita bercita-cita sebagai penulis (abstrak), kita harus
memiliki sasaran jumlah buku yang akan ditulis (konkrit), jenis buku yang
ditulis (konkrit), seberapa besar keinginan untuk menjadikan buku tersebut bestseller (konkrit/abstark?).
Sebelum memasuki pembahasan
kedua, Dee menjawab pertanyaan yang telah dikirim melalui surel itu secara acak
dan masih berhubungan dengan kepenulisan. Salah satunya adalah pertanyaan dari
saya. Begini pertanyaannya, "Melihat dari jarak penerbitan supernova dari awal sampai sekarang, ada hal yang menjadi perhatian. yaitu jarak kelahirannya. Saya rasa, jarak partikel ke gelombang cukup dekat. tidak seperti seri lain ke lainnya. Apa ada metode khusus atau memang merasa dituntut pembaca?".
Sebenarnya pertanyaan itu dari mbak Catrine, ini merupakan bentuk apresiasi
saya kepada editor (Sok resmi nih,hehe). Dari pertanyaan itu saya mendapat
jawaban yang tidak terduga. Jarak supernova petir ke partikel lumayan jauh, ini
tentang kehidupan personal benar-benar mempengaruhi pola kepenulisan. Saat
penulisan Petir, Dee masih mampu menjadi mahluk nokturnal. Namun saat petir ke
gelombang ada jarak yang lumayan jauh, dikarenakan Dee yang pada saat itu
sedang menyambut kelahiran buah hati pertamanya, ia harus bisa menemukan ritme
baru untuk menulis. Dan juga banyak karya-karya lainnya yang lahir diantara
jarak Petir-Partikel. Diantaranya adalah filosofi
kopi, tawaran untuk berkarya lewat novel digital, dan lagu ‘malaikat juga
tahu’ yang menjadi embrio rectoverso.
Seusai menjawab pertanyaan acak
tersebut, Dee melanjutkannya ke termin terakhir. Di bagian ini, ia lebih
membahas “RISET & STRUKTUR”.
Karena catatan saya sepotong-sepotong pada bagian ini, saya tidak berani
mengolahnya dan juga untuk menghindari salah kaprah. Mendingan kita
bersama-sama saja menunggu kehadiran buku kepenulisan dari Dee.
Ehm, selesailah sudah, book signing menjadi penutup DCC
Surabaya. Rasa-rasanya kita bisa saja menemukan jurus-jurus menulis yang sama
dengan yang dipaparkan di Dee’s Coacing
Clinic melalui buku teori kepenulisan fiksi yang sudah ada. Namun mengikuti
Dee’s Coaching Clinic merupakan
sebuah anugerah bagi saya, karena tidak seperti acara kepenulisan lainnya yang
hanya tanya jawab ala kadarnya-tanda tangan-peserta pulang. Sanggar kilat oleh
Dee ini mampu membuat saya berpikir dan bersyukur lebih jauh. Berpikir ternyata
orang macam Dewi ‘Dee’ Lestari itu benar-benar nyata, dan bersyukur untuk
sebuah pertemuan singkat pada hari Minggu itu.
Di akhir, ada salah seorang
peserta yang menyatakan bahwa Dee bagaikan penemu iPad dan di sanggar kilat itu
Dee memaparkan bagaimana caranya menemukan benda tersebut, lalu peserta
tersebut juga menyatakan bahwa setelah itu tidak akan ditemukan iPad macam
temuan Dee. Bagi saya, Dee lebih baik disandingkan dengan Thomas Alva Edison,
sang penemu lampu. Kisah sang penemu lampu bukan berharap adanya penemuan
lampu-lampu sejenis tapi lebih kepada harapan bahwa ada kobar api semangat
dalam kemunculan hal-hal baru yang mampu menerangi dunia ini. (rjl)
1 komentar
Thanks atas sharingnya :))
BalasHapusMantep banget yah pengalamannya ^^d
Bikin irii :s
Pembaca yang baik pasti meninggalkan komentar yang baik dan membangun. Tinggalkan komentar, ya! :)