10 Desember
21 hari lagi menjadi momen satu dunia merayakan pergantian
tahun. Semakin dekat dengan hari akhir rupanya. Tangan ini mulai kaku, kaki ini
kurang lincah, mata ini butuh pandangan hijau. Ah, lama sekali aku tidak
berpergian. Mungkin pos kali ini termasuk latepost.
Kejadian ini sudah berlalu agak lama, mungkin agak basi juga karena terjadi
sebelum kepergian menuju kawah ijen.
Sore itu aku mengantar Mama sama adik ke terminal purabaya.
Entah mengapa, selama perjalanan ke terminal purabaya selalu ada sosok polisi
di dalam benak pikiranku. Selesai mengantar aku langsung kembali ke arah kota,
melewati jalan Ahmad Yani. Disinilah tempat kejadian perkara, sepeda motorku di
hentikan oleh salah satu polisi. Dengan gaya khasku, slow but sure. Aku nyantai
aja ngobrol sama bapak polisinya, aku di ingatkan untuk menghidupkan lampu.
Ternyata semua lebih dari yang ku kira, aku mendapat surat pelanggaran -_- dan
SIM-C ku di tahan. Di pos aku ditawari untuk ‘bayar disini’, aku menolaknya. Eh
ternyata setelah aku bercerita ke orang-orang yang berpengalaman ditilang di
Surabaya, lebih enak ‘bayar disini’ prosesnya nggak ribet. Mau gimana lagi,
sim-c ku sudah terlanjut di tahan,2 minggu lagi (pada waktu itu) aku harus
menjalani sidang.
h-1 persidangan aku mengecek dompet memastikan keberadaan surat
tilang, OH GOD (sengaja capslock) surat tilangnya nggak ada di tempat. Kemana,
kemana, kemana harus ku mencari. Aku
mulai bingung menghubungi orang rumah, orang rumah bilang nggak ada. Setelah ku
ingat-ingat surat tilang itu aku pindahkan dari tempatnya ketika hendak menuju
bromo. Aku lupa tempat menaruhnya. Sempat aku berpikir ‘Andai google lebih
pandai dari sekarang, aku bakal tanya dimana
surat tilangku berada ’, haha. Sudahlah aku tetap nekat menuju persidangan.
Ternyata kenekatan nggak selalu berbuah manis. eh kapan juga ya nekat bisa
berbuah manis, nekat selalu jauh dari perencenaan. Aku nggak bisa ikut sidang
pagi itu (hari jumat), ini pengalaman perdana ku menuju pengadilan negeri (PN)
untuk urusan tilang. Dengan tidak adanya surat tilang, aku mendapat arahan
untuk membuat surat kehilangan ke polsek terdekat, menujulah aku ke polsek
sawahan. Ternyata di polsek sawahan tidak bisa membuatkan surat yang dimaksud
tersebut karena aku tidak mengerti berapa nomor surat tilangnya. Kembalilah aku
ke PN menemui orang yang mmeberiku arahan tadi, setelah aku bercerita dimana
tempat kejadiannya, aku diarahkan ke polsek wonocolo. Aku mulai berpikir
‘Mengapa urusan ini begitu rumit’. Aku memutuskan untuk tidak mengurusnya hari
itu. Karena setelah persidangan ini, sim-c ku tadi dibawa ke Sukomanunggal
(nama daerah atau entah apa, aku tidak mengerti lebih). Jika ingin mengambilnya
harus kesana. Aku memutuskan untuk menikmati pia dan es teh dalam kemasan yang
ku beli dari pedagang asongan di depan PN, ku bagi pia yang kubeli bersama
penjual es teh. Kulihat senyum yang begitu iklhas terpancar dari wajahnya, oh
sungguh menenangkan hati. Aku sudah mulai melupakan birokrasi hukum yang rumit.
Kepulanganku esok harinya (pada waktu itu) mendapatkan hasil
positif, surat tilangku ku temukan. Cepat-cepatlah aku memotretnya, bukan
hendak di upload ke instagram (sindir halus buat anak-anak muda yang
dikit-dikit apa-apanya di foto terus diupload), tujuanku agar tetap tau berapa
nomor tilangnya jika suratnya hilang.
Sampai sekarang aku belum pernah ke Sukomanunggal. Aku
ngerti harus kemana tapi aku nggak ngerti harus bagaimana.
Hm. Birokrasi yang rumit, bukan?!
Mungkin ada dari kalian yang berpikir ‘Cuma lampu doang kan,
pak polisinya kan bisa mengingatkan aja tanpa surat tilang’, pada awalnya aku
juga berpikir begitu. Apa daya, hukum tetaplah hukum. Aku mencoba menjadi warga
negara yang baikJ Aku ingatkan Jangan pernah melanggar
peraturan.