misteri gunung Batok
2:53:00 PM
13 November 2013
Hari Rabu, ah paling enak main ke gunung. Lho? kok bukan
hari minggu, emang nggak kuliah? Jika ada pertanyaan seperti ini, aku hanya
bisa nyengir :D monggo dijawab sendiri
Pendakian kali ini gegara gagalnya rencana awal yang
seharusnya berangkat hari selasa sore menuju gunung bromo dengan tujuan
‘sunrise’. Kegagalan ini disebabkan cuaca Probolinggo yang kurang mendukung
kala itu. Hujan deras, angin kencang, rumah bocor. Daripada kecewa, aku
menghibur diriku sendiri untuk tetap berangkat dengan menjalankan rencana B (yang
muncul tiba-tiba) yaitu berangkat hari rabu pagi. Oiya, perjalanan kali ini aku
ditemani Maja, kawanku dari Ngepung. Apa isi rencana B ? mendaki semeru? Tidak,
tidak se-ekstrim itu. Rencana b, aku tetap berangkat ke bromo namun tanpa
sunrise.
Aku mulai melangkahkan kaki dari rumah sekitar pukul 9 pagi.
Perjalanan pertama di sponsori mobil warna kuning dan berplat kuning, orang
Probolinggo menyebutnya angkot. Aku yang sudah lama nggak naik angkot
Probolinggo sedikit lupa berapa tarif sekali jalannya. Pilihan yang buruk jika
aku bertanya pada sopir, bisa jadi ketipu. Melihat penumpang lain membayar
menjadi opsi yang tepat. Seingatku, naik angkot Probolinggo cuma dua ribu
rupiah. Ada yang membayar 3 ribu dan 4 ribu. Ah, aku jadi bingung sendiri.
Akhirnya aku memberi selembar uang bergambar tuanku Imam Bonjol. Eh?aku diberi uang kembali cuma
seribu. aku melanjutkan perjalanan menuju tempat para Bison beristirahat
(selatan terminal) dan tidak memilih merisaukan tarif angkot sekali jalan itu.
Ehm, Aku baru ingat tarif 2ribu rupiah
itu ketika aku masih duduk di bangku SMA dan itu naik angkot dengan mengenakan
seragam, nggak sadar kl udah lulus hehe.
Disini, perjalanan agak terganggu karena bisonnya pada males
gerak. (kata maja sih, dia sudah 3 tahun selama masa SMP diperlakukan seperti ini )
bisonnya lagi mager |
Ah, sebuah keberuntungan bagiku ketika maja menawarkan jemputan. Untuk
mempersingkat waktu karena takut hujan turun, kami langsung menuju Bromo.
Tujuanku ke bromo, upacara seremonial dalam rangka pemberian
semangat untuk seseorang yang akan menempuh midtest nun jauh disana. Aku
membawa tanda kasih tak berduit, sebuah tulisan kertas berlatar belakang
panorama kawah bromo.
Disana juga sedang ada syuting bolang, baru kali ini aku
menonton syuting bolang secara langsung. Ternyata
bolang nggak sebolang yang ku
kira, mereka dikte untuk berbicara ini dan itu, untuk melakukan aktivitas ini
dan itu. Mungkin aku bisa sebut ini sebuah eksploitasi. Ah, tidak juga. Aku
tidak bisa menilai dari satu kali syuting bolang, bolang juga kan punya banyak
episode.
Selesai sesi pemotretan di kawah gunung bromo. Ide gila
muncul dari maja, ‘bagaimana kalau mendaki gunung batok?’ aku menjawab dengan
anggukan semangat. Baiklah, kita berangkat. Jika dilihat dari kaki gunungnya,
tidak ada sama sekali jalan yang bisa ditempuh. Apa boleh buat, nasi sudah
menjadi bubur dan bubur tetap enak. Kita tetap mendaki...
Hu..hu..hu.. nafas kita mulai terengah-engah, puncak sudah
dekat, entah dekat seberapa. Aku bercerita singkat pada maja jika gunung ini
asal muasalnya dibangun oleh Buto dari batok kelapa, aku bertanya kepadanya
‘seberapa ya batok kelapanya?’ dan dia balik tanya ‘seberapa pohon kelapanya’
aku terbahak-bahak dalam suasana mistis. Sebuah misteri bagi kami. Seberapa
besar batok kelapanya, seberapa besar batok kelapanya..
puncak gunung batok |
Perjalanan tetap
dilanjutkan. Medan mulai berat ketika puncak kian dekat. Sambutan langit begitu
indah ketika kami sampai di puncak, hujan rintik-rintik. Aku melihat ada 3
bendera merah putih disana. Satu bendera robek-robek, satu bendera mulai usang,
satu bendera masih bugar. Air hujan
mulai datang berbondong-bondong, inilah saatnya kami kembali turun.
Setibanya di kaki gunung kami mampir ke warung untuk
menikmati hangatnya kopi dan segelas susu cokelat. Mie instan dalam cup (p*p
mie) pilihan yang tepat untuk mengganjal perut. Aah begitu nikmat rasanya,
udara dingin gunung ditemani hangatnya kuah p*p mie. Eh ketika menanyakan harga
p*p mie, rasa kuahnya tiba-tiba berubah seperti kuah selayaknya. Harganya
setara dengan sebotol bensin eceran di jalanan, sekitar tujuh ribu rupiah. Ah
jika mengerti seperti ini sebelumnya, aku ingin tetap membiarkan harga p*p mie
menjadi sebuah misteri. Hehe.
0 komentar
Pembaca yang baik pasti meninggalkan komentar yang baik dan membangun. Tinggalkan komentar, ya! :)