Sebuah Ulasan Supernova Episode : Gelombang
9:14:00 AM
Serial Supernova bagi saya
merupakan hidangan yang mengenal table
manner. Dewi Lestari sebagai chef penyajinya. Sebuah hidangan yang harus
saya nikmati sesuai penomoran episode. Serial novel ini lebih nyaman dibaca
dengan berurutan demi mencapai puncak kenikmatan.
Sudah tidak diragukan lagi
ketenaran Dewi Lestari sampai hari ini. Bahkan orang-orang yang tidak pernah
membaca karyanya pun ikut mengutip kalimat-kalimat yang pernah dituliskan di
dalam bukunya. Menengok sepak terjang Dewi Lestari di dunia kepenulisan maka ia
pantas mendapat julukan ‘bukan penulis kemarin sore’. Riset yang teramat dalam,
menjadikan karya-karyanya patut mendapat dua jempol. Entah model riset seperti
apa yang telah dilakukannya. Seperti halnya chef yang memiliki ciri khas, ia
berhak merahasiakan resepnya. Walau pun suatu hari nanti resep kepenulisannya
itu akan dibagikan secara cuma-cuma, tidak ada jaminan orang lain dapat
menghasilkan karya yang sama. Karena berbeda tangan yang memasak akan berbeda
pula rasa yang dihasilkannya.
Membaca serial supernova seperti
bermain tebak-tebak buah manggis. Berangkat dari lambang yang berada di halaman
sampul, benar-benar memberi ruang spekulasi pembaca. Sebelum membuka plastik
pembungkus buku, pembaca bertanya-tanya tentang kecocokan substansi dengan prediksi
lanjutan cerita yang dibuatnya sendiri. Lambang lingkaran yang membentuk
semacam sulur tanaman di tengahnya itu, berhasil mengecoh saya akan cerita yang
ada di dalamnya. Atau prediksi saya terlampau dangkal?! Ternyata dalam simbol
melingkar itu bukanlah sebuah sulur melainkan cuatan ombak di pusatnya.
Berbicara tentang halaman sampul.
Ada hal yang amat disayangkan dari bagian halaman sampul, sepertinya penulis
tidak konsisten dalam menuliskan nama pena miliknya. Tampak pada halaman sampul
Supernova yang pertama sampai ke empat (edisi halaman sampul hitam berlogo di
tengahnya), penulis menggunakan nama pena “DEE” akan tetapi di Supernova kelima
kali ini, ia membubuhkan “Lestari” setelah nama pena miliknya itu. Mungkin banyak faktor yang mempengaruhi
penambahan nama pena tersebut. Jika hal ini memang kehendak Fahmi Ilmansyah
selaku perancang sampul, bukankah penulis memiliki hak yang tak terbantahkan
demi menjaga kesucian karya miliknya. Atau penulis menghadapi kejenuhan dengan
nama pena yang terdiri dari tiga huruf saja, hingga ia mencari-cari sesuatu
yang baru. Mengingat halaman sampul
menjadi kesan pertama bagi pembaca, ada baiknya penulisan nama pena tetap saja
dengan nama yang sebelumnya dipakai (sejak konsep sampul hitam berlogo di
tengahnya) agar meninggalkan kesan bahwa untuk hal yang sederhana saja
Supernova mampu berkonsisten. Dampak positifnya dari perubahan nama pena ini
ialah mempermudah calon pembaca mencari buku ini pada mesin pencari di
perpustakaan dengan kata kunci ‘Dee Lestari’ bukan ‘DEE’, karena menurut
pengalaman saya sendiri jika menggunakan ‘DEE’ maka banyak sekali hasil yang
muncul tidak sesuai harapan.
(***)
Sajak pembuka serial supernova
meninggalkan kesan tersendiri untuk para pembaca setianya. Karena memang sajak
di bagian awal buku ini menyebabkan timbulnya multi-tafsir. Baik akan cerita
yang di ada dalamnya dan juga maksud barisan kata itu sendiri. Pada episode
Gelombang, sajaknya mampu membuat pembaca gelisah pada baris terakhirnya, yang
berbunyi “....Engkau membuatku putus asa dan mencinta...Pada saat yang sama”.
Setelah terpuaskan dengan sajak
wajib yang ditunggunya, pembaca akan dibawa ke Cusco. Cusco adalah sebuah kota
di bagian tenggara Peru yang menjadi latar pembukaan cerita episode Gelombang.
Bagi yang sudah membaca serial supernova episode sebelumnya, pasti mengerti
bahwa latar tempat ini mengantarkan pada sebuah pencarian Diva Anastasia oleh
Gio. Namun bagi pembaca yang mengawali serial Supernova dengan episode
Gelombang akan sedikit bingung namun terhibur dengan kalimat pertama, “Hutan
dapat megubah seseorang dalam sekali sentuhan.” Apalagi jika yang membaca
mengerti kehidupan hutan, maka kalimat ini menjadi perangsang yang tepat untuk
melanjutkan ke kalimat selanjutnya.
Pembeberan rasa putus asa Gio
dalam kisah pencarian Diva di Taman Nasional Bahuaja-Somene berhasil memainkan
perasaan. Lalu setelah itu pembaca akan memasuki kehidupan Alfa Sagala sebagai
tokoh sentral pada ‘Keping 44 : Gelombang’. Alfa Sagala yang memiliki nama
lengkap sama persis dengan penemu bohlam ini merupakan seorang bersuku bangsa
Batak. Kampung asal-muasal suku bangsa Batak menjadi latar tempat yang sangat
tepat untuk membangun pondasi cerita yang kuat.
Selain latar awal pembangunan
cerita kuat, ada satu hal yang menjadi embrio kehidupan Alfa. “Mimpi”, satu
kata kunci yang mewakili segalanya dalam kisah Alfa Sagala. Cikal bakal mimpi
yang dialami Alfa adalah pada saat pelaksanaan prosesi adat Batak yang pada
saat itu bertemu dengan konsep kekinian yaitu untuk kepentingan seseorang
menjadi wakil rakyat. Dari kejadian ini semuanya dimulai. Kehidupan Alfa
sedikit demi sedikit berubah sejak kejadian itu. Dari Sianjur Mulamula yang
merupakan kampung halamannya berpindah menuju Jakarta, sampai ia berani melempar dadu nasib di city never sleep. Kehidupan kota yang
tak pernah tidur itu membuat nasibnya berubah 180° lebih baik sekaligus lebih
rumit. Hingga sebuah buku yang ia temukan di toko buku bekas membawanya menuju
Tibet. Ia melewati proses yang tidak mudah di setiap babak kehidupannya dan
bertemu dengan orang-orang yang tak pernah ia duga, disini konsep merantau suku
Bangsa Batak diangkat dengan baik.
Dalam kehidupannya, Alfa menghadapi
kondisi genting saat bertemu infiltran dan sarvara. Dirinya tidak tahu-menahu tentang
sesuatu yang telah dirancangnya, ia lupa siapa yang diaturnya untuk menolong
dirinya, dan ia juga lupa siapa dirinya pada kehidupan sebelumnya. Pada
bagian-bagian seperti ini pembaca akan dibuat berdebar sekaligus getol untuk
melanjutkan membaca kisahnya.
(***)
Kalimat demi kalimat di dalam
novel ini membuat candu, rasanya ingin sesegara mungkin mengetahui akhir cerita
Supernova. Mengetahui bagaimana tokoh utama mengarungi kehidupannya pada setiap
babak, adalah bagian serunya. Setiap daerah yang menjadi latar tempat tokoh
sentral menjalani hidup bisa menjadi rujukan bagaimana sebab-akibat dibangun
oleh Dewi Lestari dengan baik. Terlepas
dari percakapan dalam bahasa asing-bahasa Indonesia yang membuat kurang nyaman,
‘Supernova episode: Gelombang’ berhasil
mengajak pembaca untuk berwisata alam, budaya, dan religi. Novel ini membuat
pembaca merasa miskin akan pengalaman bepergian dan juga kekurangan akan
pengetahuan dunia mimpi. Meski dikemas secara fiksi, cerita yang disajikan
membuat pembaca berpikir bahwa di dunia ini manusia anomali beruntung seperti
Alfa Sagala benar-benar ada. (rjl)
2 komentar
Semoga bertemu Dee :)
BalasHapusMantab nih reviewnya
BalasHapusPembaca yang baik pasti meninggalkan komentar yang baik dan membangun. Tinggalkan komentar, ya! :)