Mempertanyakan Segala Hal Melalui Bedah Buku
5:00:00 PM
Bagaimana jika suatu masyarakat-terutama pemudanya-hanya patuh pada
suatu sistem ? hal itu pun terjadi di negeri kita pada saat rezim orde baru.
Tentu hidup hanya menjadi suatu keseragaman yang bisa ditebak setiap harinya.
Itulah yang menjadi trigger dari kehadiran
sebuah buku berjudul “Questioning
Everything : Kreativitas di Dunia yang Tidak Baik Baik Saja”.
Berawal dari kegelisahan Tomi Wibisono, seorang pemuda dari
Balikpapan yang sedang menempuh studi komunikasi di UGM. Ia mengutip pernyataan
Pramoedya dalam Arus Balik, bahwa
“Manusia tanpa cipta akan merosot sampai ke kakinya sendiri, lalu melata sampai
menjadi hewan yang tak mengubah apapun”, dari pernyataan tersebut ia memulai
aksi nyata. Kini ia sedang produktif dalam dunia jurnalistik, dan warningmagz merupakan buah karyanya yang
nyata.
taken by @wargalokal |
“Questioning Everything :
Kreativitas di Dunia yang Tidak Baik Baik Saja”,
merupakan buku yang berisi wawancara-wawancara dengan para pelaku seni di
Indonesia. Tomi mengerjakan buku ini bersama kawan sejawatnya, Soni Triantoro.
Banyak para pelaku seni yang tidak biasa dapat ditemui dalam buku ini, dan
pertanyaan yang mereka ajukan pun tidak selalu terkait dengan dunia pelaku
seninya. Pada suatu wawancara salah satu tokoh misalnya, mereka mengajukan
pertanyaan “Kalau hari kiamat lebih memilih dibunuh zombie atau alien ?”, cukup
kocak bukan?!
Pada bulan Mei ini, Surabaya mendapatkan kesempatan untuk bertemu
langsung siapa penulis buku tersebut. Senin, 16 mei 2016, Tomi dan Soni singgah
di C2o Collabtive And Library untuk
bersua dengan mereka yang tertarik turut serta mempertanyakan segala hal.
Kehadiran Tomi dan Soni di c2o memang dalam rangka bedah buku “Questioning Everything : Kreativitas di
Dunia yang Tidak Baik Baik Saja”. Acara ini bukanlah bedah buku yang kering
nan membosankan, namun pengunjung mendapat bonus sajian tembang dari Silampukau
di akhir acaranya. Perhelatan yang seharusnya telah dimulai sejak pukul 7 malam
itu sedikit molor sekitar tiga puluh menitan. Sepertinya pengunjung ramai
berdatangan karena kehadiran Silampukau-nya bukan karena kehadiran kedua
penulis di balik buku potensial itu. Saat diskusi buku sedang berlangsung,
hanya segelintir orang saja yang duduk bersila dengan santai. Beda halnya saat
Silampukau berdendang ria sekaligus menutup acara, banyak pengunjung yang
berdatangan memenuhi venue. Namun sayangnya tempat yang begitu terbatas dan indoor membuat suasana menjadi gerah dan
enggan untuk berlama-lama disana. Dan hujan pun turun saat acara usai, sebagai
penyegaran pengantar pulang.
p.s : buku hanya didapatkan di tempat-tempat tertentu
lapak buku pada saat acara berlangsung |
0 komentar
Pembaca yang baik pasti meninggalkan komentar yang baik dan membangun. Tinggalkan komentar, ya! :)