Sosok Bu Parni dalam “Budi Pekerti” hadir memberi pemahaman lain, atau saya
sendiri yang menonton di usia 28 tahun mungkin ya. Akan berbeda cerita ketika saya
menonton film tersebut ketika masih usia-usia SMP. Bu Parni punya metode “Refleksi”
dalam meberi efek jera kepada muridnya yang melanggar norma sosial atau aturan
sekolah. Cara-cara “refleksi”nya tidak wajar membuat filmnya Wregas ini jadi asyik
untuk ditonton. Menonton film ini seperti “refleksi” pada kejadian-kejadian
yang pernah dialami diri sendiri dari usia 15 sampai 28 tahun saat ini. Bu Parni hadir sebagai antitesis jaman, ia menjadi sosok berpengaruh melalui sosmed karena suatu hal yang diluar dugaan.
Pemahaman kerangka berpikir dan kematangan
menyambung segala fenomena menjadi suatu konektivitas diperlukan untuk
menemukan benang merah “Budi Pekerti”. Rasa yang ditinggalkan seperti ngilu dan
kosong. Meskipun ada peran yang agak kaku logat jawanya, mungkin bagian ini
abaikan saja. Buat saya pribadi, film ini tidak akan hidup apabila latar tempatnya
bukan di Jogjakarta atau tidak kental ke-jawa-annya.
Akhir kata saya bisa bilang, film ini worth it bagi teman-teman yang concern di bidang pendidikan dan pengembangan karakter. Atau buat teman-teman yang butuh "refleksi" mengenai fenomena sosmed hari ini.