Rijal, Om, dan Akar

6:32:00 AM

Rabu 9 september 2015 kisah ini bermula....

Ketika saya sedang duduk santai menikmati semilir angin Surabaya dengan hawa panasnya, setelah saya menyelesaikan janji. Ada seorang teman saya, Bondet namanya, mengajak saya untuk berburu buku bekas ke Jalan Semarang, Surabaya. beberapa hari sebelumnya ia pernah mengajak saya, namun saya menolaknya karena ada urusan lain. Saya merasa tidak enak untuk menolaknya untuk kedua kali, meksipun pada hari Minggu (6/09) sebelumnya saya telah kesana dengan Ega. Toh saya sudah tidak ada kegiatan lain pada hari Rabu itu, saya iyakan saja ajakannya...

Awalnya saat tiba di jalan Semarang, Bondet hendak mencari buku di kios kios pinggiran jalan. Namun ia mengurungkannya karena parkir-parkir liar yang bertebaran. Kami berdua memutuskan untuk masuk ke Kampung Ilmu (area kios-kios buku yang terpusat). Memasuki gerbang Kampung Ilmu, saya merasa nothing to lose. Sejauh saya bermain di Kampung Ilmu, jika kesana membawa daftar buku yang dicari atau memiliki wish-list, maka kemungkinan besar tidak menemukan, dengan artian buku bekas (bukan buku bajakan pasaran).

Saya berbelok kiri dari pintu masuk, ke arah kios-kios haluan kiri. Saya menemukan buku karya Arswendo yang berjudul ‘3 Cinta 1 Pria’, penulisnya adalah dosen Innez di kampusnya. Lalu, pada kios yang sama saya menemukan buku traveling yang saya lupa judulnya karya wartawan kompas. Harga kedua buku itu tidak menggerakkan hati saya untuk membelinya. Melanjutkan ke deretan kios-kios sebelahnya, saya melihat buku yang cukup menarik karya Kosasih, harganya membuat saya berpikir tiga kali untuk membelinya. Saya dipersilahkan masuk oleh pemilik kios, untuk melihat-lihat koleksinya. Dan pada saat itu.....mata saya tertuju pada satu buku, “Akar”. Dengan desain sampul naga yang mengitari lubang di tengahnya. Saya tidak berpikir tiga kali bahkan dua kali, namun saya tetap berlaku seperti pembeli tawar-menawar yang sok-sokan nggak butuh buku itu.
Percakapan dalam bahasa Jawa Suroboyoan (kalimat dalam //....// adalah terjemahan Bahasa Indonesia)

“Piro iki buk?...”//Berapa ini bu// kata saya (dengan menahan sumringah, menunjukkan wajah   yang biasa saja)


“telu limo wes, mas...”//tiga puluh lima ribu sudah mas// ibuknya menjawab

 ....dalam hati saya terjadi percakapan sendiri, “hehehe *ketawa setan* bisa nih tawar 15 ribu”

“limo las ewu wes”//lima belas ribu deh//  kata saya dengan cuek

 “waduh yopo yo mas ...”//waduh gimana ya mas// sahut ibuk itu <- khas banget ya

“limo las wes ...”//limas belas ribu sudah// nada memelas <- khas banget, terus  ngeliatin lalu langkah hendak pergi

“iyo wes mas”//iya sudah mas// akhirnya ibuk itu menyerah juga...


Begitulah kisah saya mendapatkan Akar cetakan ke-dua, diantara 40.000 eksemplar salah satu pemiliknya adalah saya, hehehe.

Kebahagiaan saya tidak berhenti disitu, saya melanjutkan perjalanan ke kios-kios buku selanjutnya, dan mata saya tertahan pada buku yang tergeletak di rak depan salah satu kios.. “Akar”. Ya Tuhan, Alam semesta mengijinkan saya berbahagia untuk kedua kalinya hari Rabu itu. Saya melihat “Akar” bersampul lambang Om. ‘Itu cetakan pertamaaaa...!’ teriak saya dalam hati. Kemudian, terjadi percakapan tawar-menawar kurang lebih sama seperti sebelumnya, namun kali ini agak sulit. Saya mendapatkan dengan harga diatas lebih mahal daripada akar sebelumnya. Tidak menjadi soal bagi saya. Rasanya jika saya mengabaikan buku “Akar” cetakan pertama yang saya lihat pada saat itu, perjalanan menikmati novel supernova karya Dewi ‘Dee’ Lestari terasa kurang lengkap.

Combo!
Meskipun saya sudah membaca supernova : akar, saya tidak menyesal sedikit pun memiliki tiga buku dengan isi yang sama.

Dan hal lainnya adalah pagi harinya, sebelum memulai segala aktivitas Rabu itu. Saya mencoba memperbarui status BBM dengan lambang Om () So? Inilah konspirasi alam semesta....
Akhir kata, “ITS PRECIOUS...” pakai nada Smuggle.      


You Might Also Like

1 komentar

Pembaca yang baik pasti meninggalkan komentar yang baik dan membangun. Tinggalkan komentar, ya! :)