Jumbo (2025): Imajinasi Pondasi Harapan
1:59:00 AM“Kapan terakhir kali saya pergi ke bioskop hanya untuk menonton animasi?” Pertanyaan itu tiba-tiba muncul ketika saya duduk di kursi bioskop, menunggu Jumbo dimulai. Mungkin kali terakhir saya benar-benar merasa tergerak untuk menonton animasi di layar lebar adalah saat Toy Story 4 rilis di pertengahan 2019. Setelah itu, rasanya saya lebih memilih menunggu film-film untuk ditayangkan di streaming karena lebih leluasa.
Lebaran kemarin, saya membuat keputusan berbeda. Saya kembali ke bioskop, kali ini dengan niat yang lebih tegas: ingin menonton karya Ryan Adriandhy. Nama yang pertama kali saya dengar sekitar tahun 2011 lewat ajang stand-up comedy. Seiring berjalannya waktu, saya mengikuti perkembangan dirinya melalui media sosial, mendengar bahwa ia sempat kuliah animasi di Amerika. Saat kembali ke Indonesia, ia mulai berkarya, dan salah satu karyanya yang saya tau Domikado, sebuah tontonan anak-anak yang mengingatkan pada program seperti Sesame Street.
Ada sesuatu yang sulit saya jelaskan saat menonton Jumbo. Rasanya seperti membuka buku cerita masa kecil yang sudah lama terabaikan, tersembunyi di rak bawah dan berdebu. Namun, meskipun sudah lama terlupakan, cerita itu masih terasa relevan—meski kini saya sudah berada di usia 30-an. Jumbo bukan sekadar film animasi tentang seorang anak kecil dan petualangannya. Ini lebih dari itu. Kisah Don dan teman-temannya mengingatkan kita pada perasaan yang kita semua pasti pernah alami: perasaan tidak diterima dan merasa terasing, suatu perasaan universal yang mengarah pada pemahaman yang lebih dalam tentang diri kita sendiri.
Film ini membawa kita ke dalam dunia Don, seorang anak yang sering merasa tidak diterima karena penampilannya. Tubuhnya yang besar membuatnya mendapat julukan “Jumbo” oleh teman-temannya—dan sayangnya, bukan sebagai pujian, melainkan ejekan. Namun, Don memiliki satu hal yang membuatnya berbeda: sebuah buku dongeng warisan dari orang tuanya. Buku ini lebih dari sekadar kumpulan cerita; ia menjadi tempat pelarian, sekaligus sumber kekuatan bagi Don untuk menghadapi dunia yang keras. Melalui tokoh-tokoh dan cerita dalam buku tersebut, Don mulai menemukan keberanian untuk melawan kenyataan dan menunjukkan bahwa dirinya lebih dari sekadar label yang diberikan orang lain.
Dengan narasi yang sederhana namun penuh empati, Jumbo menggambarkan bagaimana anak-anak mengolah luka dan ketidakadilan yang mereka alami melalui imajinasi. Don alias Jumbo mendapat kesempatan untuk tampil dan mengubah situasi yang ia hadapi melalui pentas 17-an di kampungnya. Singkat cerita, Don membalikkan keadaan dan situasi dirinya di dalam lingkungannya.
Tentunya, ada beberapa orang yang merasa kecewa dengan munculnya sosok hantu sebagai salah satu teman Don dalam film ini. Tetapi, seperti halnya dalam menilai sebuah karya seni, setiap orang memiliki sudut pandang yang berbeda.
Setelah menonton sampai akhir, saya mulai berpikir, bagaimana jika semua kisah yang kita saksikan di Jumbo sebenarnya adalah hasil imajinasi Don yang kini telah menjadi animator dewasa? Mungkin saja, siapa tahu. Haha. Sampai tulisan ini selesai ditulis Jumbo memecahkan rekor jumlah penonton sampai di angka 5 jutaan, angkat topi untuk semua tim di balik Jumbo!
0 komentar
Pembaca yang baik pasti meninggalkan komentar yang baik dan membangun. Tinggalkan komentar, ya! :)