Ini
pertama kalinya saya pergi ke komunitas salihara, ternyata akses jalan depannya
sempit dan parkirnya memang sempit (sudah diingatkan untuk tidak membawa
kendaraan). Saya curi dengar dari beberapa orang yang datang sore itu ada yang naik
busway dan ojek daring. Apa daya sampai sekarang saya tidak paham
jalur busway itu bagaimana cara kerjanya. Saya nekat saja membawa kendaraan, dan parkir di minimarket sebelahnya.
Tidak
lama setelah saya datang ada semacam bunyi gong dipukul, “duuuung... duuuung...”.
Ternyata itu tanda pemutaran film akan dimulai. Buat saya yang benar-benar baru
pertama kali masuk, terheran-heran melihat konstruksi kayu yang dimodel
sedemikian rupa sehingga membentuk trap-trap susunan konstruksi bangku bioskop.
Mengenai
filmnya, bercerita secara umum mengenai kehidupan Pondok Pesantren Kebon Jambu.
Bisa dibilang secara keseluruhan tidak ada isu yang benar-benar disorot secara
kuat. Saat menonton, terkadang saya merasa ada yang sedikit diperkuat mengenai
pandangan-pandangan kontra patriarki tapi saya rasa juga tidak menjadi isu
utama. Buat saya dari awal sampai akhir film ini menyorot secara umum dan luas
mengenai kehidupan pesantrennya.
Gambar-gambar
yang disajikan membuat saya terpana bukan karena kualitas gambarnya atau teknik
shootnya namun memang karena kehidupan santrinya. Salah satunya saat melihat
para santri tidur di lantai seperti ikan pindang yang sedang dijemur. Begitu
pula momen dan dialog-dialognya, benar-benar membawa saya pada suasana “perjuangan
kelas”, saat ada salah satu tokoh seorang guru kesenian pesantren tersebut
diterima di Universitas Diponegoro namun yang bersangkutan terkendala dengan
keuangan.
Peletakan
elemen suaranya menurut saya cerdas dan pas, sehingga perasaan ini dibawa pada
suasana kehidupan pesantrennya. Seperti sewaktu “Syiir Tanpo Waton” diputar di
awal film, ini melempar saya pada suasana menjelang magrib di Surabaya. Saya
kenal sekali dengan lirik dan alunan nadanya, dan saya berpikir bahwa orang-orang
di dalam pesantren ini mengarah pada “Gusdurian”. Benar saja dugaan saya ketika
beberapa kali melihat santri memakai kaos-kaos Gus Dur. Maka tidak diragukan
lagi bahwa paham yang diajarkan di pesantren tersebut mengenai nilai-nilai “Hablum
Minannas”
Ketika
di penghujung film, saat ada tulisan “Wisuda Santri” saya rasa film ini pembabakannya
berusaha rapi, tapi rasanya saya ingin
mengulang dari awal hanya karena ingin melihat tim musik berlatih dan
menyanyikan lagu.
Mungkin
di kemudian hari akan menjadi menarik jika ada film pendek mengenai beberapa
unsur kehidupan yang ada di dalam film pesantren tersebut untuk menjawab beberapa
pertanyaan yang membuat saya penasaran kehidupan pesantren. Seperti bagaimana
mereka proses pendaftarannya, apakah ada tes begitu ketat, atau dilaksanakan
begitu saja dengan tujuan syiar agama kepada siapapun dari golongan apapun,
karena di salah satu dialognya sempat terlontar “Dari 300 orang santri, hanya 100
orang yang bisa membaca Al Quran (Mengaji)” atau dialog lainnya “Pola
pengasuhan orang tua sekarang sangat berbeda dengan dulu, dulu didaftarkan pesantren
agar mendalami ilmu agama, tapi sekarang anak didaftarkan pesantren dengan
tujuan paling tidak bisa bacaan sholat”. Atau hal lain yang membuat saya penasaran
bagaimana organisasi sosial mereka? Pembagiaan kamarnya, pembagian kelas/tingkatannya,
dan bagaimana mereka mengatur peran setiap pengajar serta jalannya operasional
pendidikan agamanya.
Menonton
Pesantren buat saya seperti melihat kehidupan lain yang dulu hampir saja saya
jalani, ketika saya duduk di kelas 3 SMP ibu saya bersikeras untuk memasukkan
saya di boarding school tapi mental saya ciut saat melihat sekolah yang
saya tuju setiap papan kelas dan petunjuknya menggunakan huruf arab gundul. Saya
merasa bahwa saya akan tersiksa apabila menjalani kehidupan seperti itu. Jadi
waktu itu, saya menolak permintaan ibu saya untuk menjadi santri.
(tralier dapat dilihat di : disini)