Arak-Arak Ingatan di Tengah Kota: Tafsir Singkat atas Ritus dan Ruang
11:52:00 PMoleh: Rijal Putranto
Pada
serangkaian perjalanan dari Terminal Purabaya menuju Stasiun Pasar Turi, saya
menyempatkan diri singgah di sebuah gedung tua yang dibiarkan keropos di salah
satu poros kapital Surabaya—Tunjungan. Di antara lampu-lampu temaram dan
dinding seng berkarat, melewati muda-mudi kulineran dan suara teriakan dari
wahana rumah hantu, saya tiba di kawasan yang kini arek-arek sebut Pasar
Tunjungan. Saya sedang berkontemplasi dalam waktu sesingkat-singkatnya—melihat,
mendengar, dan merasakan—permainan indera yang terlalu ringkas untuk menyerap
keseluruhan pengalaman yang ditawarkan.
Mengunjungi pameran dengan alokasi waktu singkat adalah
tindakan nekat—seperti halnya kehadiran ARTJOG di Surabaya kali ini. Gelaran Road to ARTJOG 2025 adalah sebuah manuver berani: langkah
keluar dari zona nyaman yang selama ini menjadi episentrum perhelatan. Edisi
perdana di luar Yogyakarta ini bukan sekadar aksi "gegayaan",
melainkan pembuka dari rangkaian ARTJOG 2025: Motif—Amalan. Di saat yang sama, ia
memperlihatkan bahwa medan resonansi seni rupa kontemporer yang selama ini
terpusat, sejatinya dapat diperluas—menembus batas geografis maupun imajinatif
dari pusat-pusat dominannya.
Dari
konteks perluasan ini, hadir ARAK-ARAK: Midnight Haze and The Drifting
Flocks karya Jompet Kuswidananto di lantai 3 Pasar Tunjungan. Dikurasi oleh
Ayos Purwoaji, pameran ini menjadi penanda penting dari upaya ARTJOG membuka
percakapan baru—tidak hanya antar kota, tetapi antar ekosistem kultural yang
berbeda. Melalui gabungan objek kinetik, pencahayaan, dan bunyi, karya-karya
Jompet menghadirkan lanskap tidak biasa—sebuah ruang getar yang merekam sejarah
bukan sebagai kilas balik, melainkan sebagai resonansi yang terus hidup, menyatu
dalam kesadaran hari ini.
Dibuka
dengan deretan alat musik yang ditata di antara kerangka besi tenda hajatan
tanpa penutup terpal. Suara-suara nestapa keluar dari miniatur bak truk yang
disambung kabel audio di atas piano tua. Kenestapaan itu menetap dalam benak
saat menelusuri karya-karya lain di ruang yang sama. Dengan sensibilitas
khasnya, Jompet menafsir ulang ingatan kolektif dan fragmen sejarah pinggiran
menjadi parade kabut—arak-arak—yang terus melayang, menggoda untuk diraba, tapi
tidak pernah sepenuhnya tergenggam. Ia tidak merayakan kepahlawanan, melainkan
membuka ruang kontemplatif: siapa yang bicara dalam sejarah, dan siapa yang
tidak pernah sempat bicara?
Objek
dan simbol dalam karya ini bukan benda mati. Mereka menjadi bagian dari
jaringan makna yang terus bergerak, ditafsir ulang oleh konteks sosial dan
ingatan kolektif. ARAK-ARAK
dapat dibaca sebagai dokumentasi visual—rekaman gestur sosial dan jejak sejarah
lisan yang kerap luput dari arsip resmi. Jompet menyusunnya bukan sebagai
narasi utuh, melainkan sebagai arak-arakan ide dan emosi: bergerak, bergema,
dan selalu terbuka untuk interpretasi ulang.
Pendekatan
ini menggarap serpih-serpih yang berserakan—motor tanpa tubuh, bendera dengan
frasa, helm, megafon, drum kosong—dengan semangat bricolage seperti digagas Claude Lévi-Strauss:
merakit makna dari benda-benda dan ingatan yang tersisa, dari apa yang dianggap
sisa dan pinggiran. Tidak ada patung pahlawan di sini. Hanya benda-benda biasa
yang berbicara lebih jujur dari teks resmi kenegaraan. Instalasi ini menolak
logika monumen dan memilih menjadi ars
memoriae—taman ingatan yang tumbuh dari retakan dan kabut,
menggugat narasi linier sejarah, menggantinya dengan sirkularitas perasaan dan
kemungkinan.
Yang
menarik, ARAK-ARAK tidak hanya berbicara dalam bahasa seni rupa, tapi juga
dalam kosakata tubuh kolektif yang berakar dari budaya Jawa. Dalam khazanah
budaya lokal, arak-arakan adalah peristiwa sosial yang menyatukan banyak tubuh
dalam gerakan ritmis. Ia bisa menjadi ritual transisi, upacara syukur, atau
bahkan bentuk protes. Dalam tangan Jompet, bentuk ini tidak direkonstruksi
secara literal, melainkan dihidupkan kembali melalui fragmen dan atmosfer. Ada
intensi untuk tidak menyusun ulang sejarah, melainkan mengganggu
keterpaduannya, dan menciptakan celah agar pengunjung bisa menyisipkan diri.
Interaksi
dengan ARAK-ARAK
tidak berhenti pada pengalaman visual. Ia menuntut kehadiran penuh, menjadikan
penonton bagian dari narasi yang terus berlangsung. Di titik ini, relasi antara
karya dan pengunjung menjadi interaktif—bukan karena teknologi mutakhir, tapi
karena tubuh kita terseret ke dalam medan yang hidup. Tubuh kolektif itu
hadir—dalam getaran bunyi, kilatan cahaya, gema dari drum kosong, atau bahkan
langit-langit gedung yang rompal—semuanya dihadirkan lewat kesengajaan dan
ketidaksengajaan.
Saya
mencatat bagaimana atmosfer yang dibangun oleh Jompet dan Ayos tidak bersandar
pada kemewahan produksi, melainkan pada keberanian menghadirkan kerentanan.
Gema audio yang terdistorsi, kerlap-kerlip cahaya yang tidak stabil, kipas
besar yang hadir secara fungsional bahkan aroma debu dan lapuk dari gedung tua
menjadi bagian dari pengalaman itu sendiri. Semua elemen ini menggoda kesadaran
kita untuk tidak hanya menjadi pengunjung, melainkan turut menggugat: apakah
sejarah pernah adil? Apakah tubuh kita termasuk dalam narasi yang diwariskan?
ARAK-ARAK seperti sebuah ritus—upacara ingatan
yang menolak ditertibkan oleh narasi tunggal sejarah. Dalam khazanah budaya
Jawa, arak-arakan bukan sekadar perayaan, tetapi juga pernyataan politik: tubuh
kolektif tampil di ruang publik, memperlihatkan siapa yang hadir, siapa yang
absen, serta bagaimana gerak, suara, dan benda menyusun narasi bersama. Jompet
menyerap bentuk ini secara sadar, dan memanifestasikannya dalam satu komposisi
yang resah tapi terstruktur.
Pemilihan
ruang tua di Pasar Tunjungan memperkuat resonansi narasi tersebut. Gedung yang
menyimpan jejak kapitalisme ini bukan sekadar latar, melainkan medium aktif
yang membingkai kerja visual Jompet. Dalam ruang yang rapuh itu, fragmen visual
menjadi gema sejarah yang menggantung—tidak tuntas, dan tidak perlu
diselesaikan. Ini bukan white cube gallery yang steril, melainkan situs
yang penuh riwayat dan kerentanan.
Kehadiran
ARTJOG di Surabaya, lewat proyek ini, bukan sekadar ekspansi jaringan seni,
melainkan strategi untuk menyentuh politik ruang. Ia membongkar kecenderungan
sentralisasi seni rupa Indonesia di kota-kota tertentu saja. Melalui tangan
Ayos Purwoaji sebagai penulis pameran, ARAK-ARAK
tidak hanya tampil sebagai karya, tapi juga sebagai tafsir historis yang sadar
konteks dan terbuka.
Tema
besar ARTJOG tahun ini, “Motif: Amalan”, menemukan bentuk paling subtil dalam gelaran
ini. Di luar pengertian religius, “amalan” di sini tampil sebagai tindakan
estetik dengan konsekuensi etik. Dalam ARAK-ARAK, amalan itu adalah kerja merawat
ingatan, memanggil kembali luka-luka sejarah yang nyaris terlupakan, serta
menyusun ruang dengar bagi suara-suara yang tidak berdaya.
Seperti
halnya medan wacana yang mempertanyakan dominasi narasi arus utama, seni di
sini menjadi ruang negosiasi antara identitas dan ingatan. Ia tidak menawarkan
totalitas cerita, melainkan serpihan, retakan, dan ketegangan yang lebih
jujur—lebih manusiawi. ARAK-ARAK adalah bentuk amalan yang menolak
diam, menolak lupa, dan menolak tunduk pada konsensus sejarah yang dibakukan.
Maka ketika saya masuk ke ruang tersebut, saya merasa digugah: bahwa tubuh-tubuh kolektif justru terbentuk oleh absennya tubuh-tubuh lain yang tidak sempat bicara. Dalam ARAK-ARAK, seni tidak hanya menjadi ruang antara. Ia menjadi tubuh itu sendiri—yang menggantung, melayang, dan mengendap dalam diri kita semua. Sampai saya dalam perjalanan di kereta api meninggalkan Surabaya, lagu nestapa dari bak truk di atas piano itu masih berputar di otak: “……mengawal jauh ke sebrang……”
tulisan ini dikembangkan menjadi kurang lebih 1000 kata dari caption instagram untuk kebutuhan submission buku antologi Arak-Arak
0 komentar
Pembaca yang baik pasti meninggalkan komentar yang baik dan membangun. Tinggalkan komentar, ya! :)