Mengikuti Alur Amalan: Seni, Pertemuan, dan Perjalanan Pulang
12:03:00 AMSeperti sebelumnya, perjalanan menuju Artjog tahun ini tidak disengaja dan tanpa rencana. Ceritanya, saya sedang dalam perjalanan via Tol Trans-Jawa pada 21 Juni, dan kebetulan sekali rute saya menuntun pada persinggahan singkat di Yogyakarta. Salah satu dari banyak persinggahan yang tidak saya rencanakan, tetapi entah bagaimana selalu memberi sesuatu yang penting. Ada hari-hari ketika saya merasa hidup hanyalah serangkaian keputusan kecil yang tidak pernah benar-benar saya pikirkan matang-matang, namun diam-diam membawa saya ke tempat-tempat yang akhirnya mengubah cara saya melihat dunia. Saya kira tahun ini saya tidak bakal ke Artjog, tapi alam semesta memberikan kesempatan sekali lagi.
Saya masih mengingat dengan jelas Artjog 2019—tahun ketika saya menjadi bagian kecil dari hiruk-pikuknya. Saya ingat betul suasana galeri saat itu: dimulai dari rekrutmen dengan hasil yang di luar ekspektasi, mengenakan lanyard kekinian dan menjadi bagian dari perhelatan akbar, kepadatan pengunjung yang memuncak terutama di akhir pekan, antrean yang meliuk, langkah-langkah kaki yang saling mendahului, aroma ruang pamer yang khas, tubuh-tubuh yang berkumpul dalam satu ritme, hingga kemeriahan Yura Yunita sebagai penutup. Ingatan itu, entah mengapa, selalu melekat. Dan mungkin karena itu pula, Artjog di setiap tahunnya terasa akrab, meskipun ruang, tema, dan waktunya terus berubah.
Tema Amalan tahun ini berbicara lebih lembut daripada yang saya bayangkan. Ia tidak datang sebagai pernyataan besar, melainkan seperti suara kecil di ruang kosong rumah—pelan, tapi dekat. Mungkin karena saya juga sedang berusaha memahami hidup lewat hal-hal kecil: kebiasaan yang saya ulang setiap hari, ritual sederhana yang dulu tidak pernah saya anggap penting, dan perasaan-perasaan asing yang muncul tanpa saya undang.
Disambut dengan instalasi megah dua lantai di depan gedung JNM, Anusapati menghadirkan Secret of Eden. Menggunakan kayu bekas—“mati” secara fisik—sebagai material utama, ia justru menanamkan kehidupan baru lewat makna dan struktur. Lantai bawah merepresentasikan kehancuran: akar tua, sisa hutan yang terkoyak, bayang-bayang eksploitasi pertambangan. Sementara lantai atas menampilkan batang-batang pohon yang kering namun tetap menjulang—simbol regenerasi, harapan, dan kemungkinan hidup kembali. Ruang ini terasa seperti balkon nestapa, tempat kita menyaksikan kayu-kayu mati yang tidak lagi punya suara namun masih menyimpan cerita.
Karya ini bukan hanya visual; bunyi menjadi bagian integral dari pengalaman. Komposer Tony Maryana merespons instalasi dengan elemen suara yang mengisi ruangan, menciptakan atmosfer seperti berada di hutan mati yang diselimuti kenangan manusia dan alam. Suara itu tidak berteriak; ia lebih seperti bisikan—undangan halus untuk mendengarkan, merenung, dan menyadari bahwa perusakan alam (atau akar yang diputus) bukanlah cerita masa lalu, tetapi sesuatu yang tetap bertaut dengan kehidupan kita hari ini.
Tentu saja, Artjog juga merupakan hari raya seni—dan momentum bagi saya untuk bertemu beberapa teman lama. Salah satunya benar-benar tidak direncanakan. Tidak dicari. Kami hanya kebetulan tiba di ruang itu di waktu yang sama, seperti dua garis yang tanpa sengaja berpotongan. Ada jeda aneh ketika mata kami bertemu—seolah memori tergagap, berusaha menyesuaikan wajah lama dengan tubuh orang dewasa yang kini berdiri di hadapan saya.
Dulu kami akrab. Sangat akrab. Tetapi waktu, dengan caranya yang misterius, memisahkan kami perlahan-lahan. Tidak ada pertengkaran, tidak ada luka besar, tidak ada momen dramatis. Hanya ritme hidup yang bergerak ke arah masing-masing.
Saya sempat menyapa; kami berbincang secukupnya. Setelah saya cek kembali galeri foto ponsel, ternyata tidak ada satu pun gambar bersama—tidak ada bukti pertemuan itu, seolah-olah momen tersebut pun ragu apakah ia perlu diabadikan. Gestur kecil kami terasa seperti upaya mempertahankan sesuatu yang sebenarnya sudah lama pergi. Memori yang dulu penuh kini terasa ringan—mungkin karena hanya saya yang masih membawanya. Ia tersenyum, ramah seperti biasa, tetapi jarak halus itu tetap ada. Hidup telah membawanya jauh. Dan mungkin saya pun bukan orang yang sama. Entahlah.
Di titik itu, saya kembali bertanya pada diri sendiri—seperti murid Plato yang terus menatap bayangan di dinding gua—apa sebenarnya yang membuat masa lalu terasa begitu kuat pada satu orang tetapi memudar pada orang lain? Apakah memori memang sesubjektif itu? Atau saya yang terlalu naif memeluk sesuatu yang mestinya dilepas sejak lama?
Namun Amalan mengingatkan saya pada hal yang sederhana: bahwa setiap orang sedang berjuang dengan hidupnya masing-masing. Tidak ada yang salah dengan itu. Tidak ada yang perlu diperbaiki. Kami hanya manusia yang tumbuh dan menua dengan caranya sendiri, menata ulang apa yang penting dan apa yang tidak, memikul apa yang terlihat dan yang tidak. Dan pertemuan itu—sesingkat apa pun—tetap bagian dari laku hidup saya.
Berjalan menyusuri instalasi demi instalasi, saya menyadari bahwa Amalan tidak hanya tentang kehebatan seni rupa. Ia tentang kehidupan manusia—kecil, sederhana, sering kali tidak menarik bagi orang luar. Ada karya tentang kebiasaan rumah, tentang ingatan keluarga, tentang tubuh yang bergerak tanpa disadari, tentang laku yang diwariskan turun-temurun, tentang tindakan-tindakan kecil yang kita lakukan tanpa memikirkan mengapa. Dan tanpa saya sadari, hal-hal kecil itu justru memberi pengaruh paling besar.
| Breaking the Silence, Herru Yoga |
Saya keluar dari ruang pamer dengan perasaan aneh: seperti baru saja menerima jawaban atas pertanyaan yang sudah lama saya simpan, tetapi sekaligus menemukan pertanyaan baru yang tidak kalah membingungkan. Tapi mungkin memang begitu cara hidup bekerja. Begitu cara waktu bergerak.
Sebelum pulang, saya kembali bertemu teman lama lainnya—teman yang sering menjadi tempat saya berbagi dan dibangun kembali. Ia mengajak saya bertemu teman-temannya, dan dalam perbincangan ringan itu, dia melontarkan pertanyaan yang menusuk lembut:
“Bagaimana kamu bisa sampai di titik sekarang?”
Jadi mungkin benar apa yang sering saya katakan dalam obrolan warung kopi—bahwa sebagian besar hidup hanyalah tentang merawat hal-hal kecil: memaafkan diri sendiri, menerima perubahan, dan belajar menyapa masa lalu tanpa berharap ia kembali utuh.
0 komentar
Pembaca yang baik pasti meninggalkan komentar yang baik dan membangun. Tinggalkan komentar, ya! :)