Budi Pekerti Membuat Saya Pergi ke Bioskop Lagi.

8:16:00 PM



Kegiatan menonton film di bioskop hampir tidak pernah saya lakukan lagi semenjak saya banyak meluangkan screen time untuk netflix atau kadang secara serampangan mencari streaming ilegal.

“Budi Pekerti” beberapa kali seliweran di timeline, dan akhirnya saya pergi ke youtube untuk nonton trailernya, hasrat saya ingin pergi ke bioskop muncul. Karena saya benar-benar ingin mendapat kepuasan visual, saya tidak ingin menunggu film ini rilis di chanel streaming atau bahkan ilegalnya. Atau kecenderungan saya support film lokal dari membeli tiketnya, atau memang rasa dendam saya karena sampai saat ini ide-ide gila saya belum tersalurkan melalui sinema. Entahlah apapun motivasinya saya merasa karya Wregas ini tidak pantas untuk dilewatkan begitu saja. 



Tidak banyak yang bisa saya ceritakan mengenai film ini. “Budi Pekerti” membawa saya kepada memori jaman sekolah menengah pertama. Saat itu merupakan waktu dimana saya bolak-balik ke ruang bimbingan konseling, guru BK menjadi sosok pribadi yang menakutkan, menjadi sosok asing yang rasanya anti sekali dikunjungi.

Sosok Bu Parni dalam “Budi Pekerti” hadir memberi pemahaman lain, atau saya sendiri yang menonton di usia 28 tahun mungkin ya. Akan berbeda cerita ketika saya menonton film tersebut ketika masih usia-usia SMP. Bu Parni punya metode “Refleksi” dalam meberi efek jera kepada muridnya yang melanggar norma sosial atau aturan sekolah. Cara-cara “refleksi”nya tidak wajar membuat filmnya Wregas ini jadi asyik untuk ditonton. Menonton film ini seperti “refleksi” pada kejadian-kejadian yang pernah dialami diri sendiri dari usia 15 sampai 28 tahun saat ini. Bu Parni hadir sebagai antitesis jaman, ia menjadi sosok berpengaruh melalui sosmed karena suatu hal yang diluar dugaan. 

Pemahaman kerangka berpikir dan kematangan menyambung segala fenomena menjadi suatu konektivitas diperlukan untuk menemukan benang merah “Budi Pekerti”. Rasa yang ditinggalkan seperti ngilu dan kosong. Meskipun ada peran yang agak kaku logat jawanya, mungkin bagian ini abaikan saja. Buat saya pribadi, film ini tidak akan hidup apabila latar tempatnya bukan di Jogjakarta atau tidak kental ke-jawa-annya.

Akhir kata saya bisa bilang, film ini worth it bagi teman-teman yang concern di bidang pendidikan dan pengembangan karakter. Atau buat teman-teman yang butuh "refleksi" mengenai fenomena sosmed hari ini. 

You Might Also Like

0 komentar

Pembaca yang baik pasti meninggalkan komentar yang baik dan membangun. Tinggalkan komentar, ya! :)